Etis Bermedia Digital - Kesya 8E 20



Etika tradisional adalah etika offline menyangkut tata cara lama, kebiasaan, dan budaya yang merupakan kesepakatan bersama dari setiap kelompok masyarakat, sehingga menunjukkan apa yang pantas dan tidak pantas sebagai pedoman sikap dan perilaku anggota masyarakat. 

Etika kontemporer adalah etika elektronik & online menyangkut tata cara, kebiasaan, dan budaya yang berkembang karena teknologi yang memungkinkan pertemuan sosial budaya secara lebih luas dan global. Etika The Good Play Program diwujudkan dalam perilaku partisipatif yang bertanggung jawab pada orang lain. Maka ruang lingkup etika dalam modul ini adalah menyangkut pertimbangan perilaku yang dipenuhi kesadaran, tanggung jawab, integritas (kejujuran), dan nilai kebajikan. Baik itu dalam hal tata kelola, berinteraksi, berpartisipasi, berkolaborasi dan bertransaksi elektronik.

Kesadaran maksudnya adalah melakukan sesuatu dengan sadar atau memiliki tujuan. Media

digital yang cenderung instan seringkali membuat penggunanya melakukan sesuatu

dengannya ‘tanpa sadar’ sepenuhnya. Tindakan ‘otomatis’ begitu memegang gawai

contohnya. Tanggung jawab berkaitan dengan dampak atau akibat yang ditimbulkan dari suatu tindakan.

Maka bertanggung jawab artinya adalah kemauan menanggung konsekuensi dari

perilakunya. Pada dasarnya dengan media digital setiap orang (netizen) berpartisipasi dalam berbagai

hubungan dengan banyak orang yang melintasi geografis dan budaya. Maka, segala

aktivitas digital di ruang digital dan menggunakan media digital memerlukan etika digital.


Literasi digital adalah sebuah konsep dan praktik yang bukan sekadar menitikberatkan pada kecakapan untuk menguasai teknologi. Lebih dari itu, literasi digital juga banyak menekankan pada kecakapan pengguna media digital dalam melakukan proses mediasi media digital yang dilakukan secara produktif. Seorang pengguna yang memiliki kecakapan literasi digital yang bagus tidak hanya mampu mengoperasikan alat, melainkan juga mampu bermedia digital dengan penuh tanggung jawab.

Untuk bisa mengetahui sejauh mana pengguna mempunyai kecakapan dalam memediasi

media digital, maka diperlukan alat ukur yang tepat.


Digital Skills adalah kemampuan individu dalam mengetahui, memahami, dan menggunakan

perangkat keras dan piranti lunak TIK serta sistem operasi digital. Digital Culture merupakan

kemampuan individu dalam membaca, menguraikan, membiasakan, memeriksa, dan

membangun wawasan kebangsaan, nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dalam

kehidupan sehari-hari. Digital Ethics adalah kemampuan individu dalam menyadari,

mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan, dan

mengembangkan tata kelola etika digital (netiquette) dalam kehidupan sehari-hari. Digital

Safety merupakan kemampuan individu dalam mengenali, mempolakan, menerapkan,

menganalisis, dan meningkatkan kesadaran keamanan digital dalam kehidupan sehari-hari.


Digital Skills merupakan dasar dari kompetensi literasi digital, berada di domain ‘single, informal’. Digital Culture sebagai wujud kewarganegaraan digital dalam konteks ke-Indonesia-an berada pada domain ‘kolektif, formal’ di mana kompetensi digital individu difungsikan agar mampu berperan sebagai warga negara dalam batas-batas formal yang berkaitan dengan hak, kewajiban, dan tanggungjawabnya dalam ruang ‘negara’. Digital Ethics sebagai panduan berperilaku terbaik di ruang digital membawa individu untuk bisa menjadi bagian masyarakat digital, berada di domain ‘kolektif, informal’. Digital Safety sebagai panduan bagi individu agar dapat menjaga keselamatan dirinya berada pada domain ‘single, formal’ karena sudah menyentuh instrumen-instrumen hukum positif.


Di dunia digital kita juga mengenal etiket berinternet atau yang lebih dikenal dengan Netiket (Network Etiquette) yaitu tata krama dalam menggunakan Internet. Netiket ini juga erat kaitannya dengan penguasaan soft skill literasi digital yang merupakan bagian dari pengembangan diri yang harus kita miliki.


One to many communication adalah komunikasi yang terjadi antar individu dengan beberapa orang atau kelompok atau sebaliknya, contohnya adalah media sosial, blog, komunitas, situs web, dan lain-lain. Sebagai contoh, berikut ini akan kita bahas mengenai netiket chatting yang baik di media sosial, milis, komunitas online, dll. Sebagaimana hakikat etiket, netiket ada untuk mengatur perilaku pengguna internet secara normatif. Netiket berlaku ketika seorang warganet berinteraksi dengan warganet lain.


Lakukan Cek dan Ricek. Kalau informasi yang kita baca bernada ujaran kebencian dan tidak etis kita bisa langsung mencurigai berita tersebut. Teliti terlebih dahulu siapa yang menyampaikan informasi dengan cara mengecek sumber beritanya di Google News. Kemudian cek apakah gambar sesuai dengan konteks di Google Images. Selanjutnya verifikasi topik pesan lewat Fact Check Tools. Telusuri referensi artikelnya. Lalu yang terakhir perhatikan URL-nya karena terdapat beberapa situs yang mirip dengan nama sebuah web, atau alamatnya mirip dengan media mainstream padahal sama sekali tidak ada hubungan diantara keduanya.


Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian, untuk itu kompetensi melakukan kolaborasi penting kiranya dilakukan dalam hal memperkenalkan netiket kepada masyarakat melalui platform digital yang ada. Platform digital saat ini memungkinkan pengguna-penggunanya berperan secara egaliter. Digitalisasi telah mempermudah kita dalam hal berkomunikasi dan berkolaborasi, bertukar informasi atau data secara mudah, aman, dan nyaman.


Caption merupakan deskripsi atau keterangan tentang post foto atau video yang kita kirimkan, di dalam caption kita juga bisa memuat hashtag. Hashtag merupakan metode yang digunakan untuk menandai seseorang apabila pengguna lain membuat tautan ke profilnya dengan simbol (#) atau tagar. Kegunaan hashtag bisa untuk membuat tren, spesifikasi, atau pengelompokan serta pengerucutan bidang tertentu. Sementara Feeds merupakan metode yang dapat menampilkan berita sesuai aktivitas ataupun koneksi yang dimiliki oleh seorang pengguna. Follower adalah pengikut media sosial kita untuk mendapatkan pemberitahuan atau kabar mengenai postingan terbaru dari akun yang ia ikuti. Comment memberikan

komentar antar sesama pengguna untuk saling berinteraksi dan berkolaborasi satu sama lain dengan melakukan mention akun media sosial orang lain di dalam komentar. Kemudian, Engagement atau tingkat keterlibatan pengguna pada postingan kita, mulai dari pemberian like post, like page, komentar, sampai menyimpan postingan kita.


Layanan Wikipedia memberikan kesempatan penggunanya untuk berkolaborasi dalam memuat, menyunting, atau mengoreksi konten digital. Platform digital lainnya untuk pekerjaan kolaborasi seperti Google Drive, Dropbox, dan Microsoft OneDrive dapat kita gunakan untuk menyimpan dan memperbarui dokumen agar bisa diakses oleh anggota tim lainnya. Kemudian kita juga dapat menggunakan Google Docs untuk melakukan kolaborasi secara langsung di internet dalam memproses informasi dan pesan tanpa harus mengunduh atau mengunggah terlebih dahulu. Layanan cloud services tersebut membuat kita tidak harus memiliki dokumen atau bahkan memiliki komputer untuk bekerja.


Etika digital berorientasi pada penciptaan “daya tahan digital”. Maksudnya, masyarakat memiliki kemampuan untuk mendapat manfaat positif dari kehadiran media digital. Daya tahan ini merupakan hasil kesatuan berbagai kompetensi literasi digital yang dimiliki.




Cyberbullying adalah tindakan agresif dari seseorang atau sekelompok orang terhadap orang lain yang lebih lemah (secara fisik maupun mental), dengan menggunakan media digital. Korbannya bisa mengalami depresi mental. Bentuk perundungan ini dapat berupa doxing (membagikan data personal seseorang ke dunia maya); cyberstalking (mengintip dan memata-matai seseorang di dunia maya); dan revenge porn (membalas dendam melalui penyebaran foto/video intim/vulgar seseorang). Selain balas dendam, perundungan ini juga untuk memeras korban). Perundungan ini bisa memunculkan rasa takut si korban, bahkan dapat terjadi kekerasan fisik di dunia nyata.


Ujaran kebencian atau hate speech adalah ungkapan atau ekspresi yang menganjurkan ajakan untuk mendiskreditkan, menyakiti seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan membangkitkan permusuhan, kekerasan, dan diskriminasi kepada orang atau kelompok tersebut. Penghasut membuat konten ujaran kebencian dengan sengaja mengubah fakta-fakta atau disinformasi. Konten tersebut bisa bertahan lama di dunia maya karena ada peran pengguna internet yang terhasut. Para pengguna ini akan

meneruskan konten ini ke orang-orang lain, dan seterusnya menggelinding ke mana-mana, bahkan viral. Konten tersebut lalu dibicarakan di dunia nyata (offline) secara intensif, bahkan disertai provokasi. Jadi bermula dari hasutan yang terus-menerus di dunia maya, akhirnya dapat bermuara pada tindakan kekerasan fisik.


Konten negatif atau konten ilegal di dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang telah diubah melalui UU Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE) dijelaskan sebagai informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian,

penghinaan atau pencemaran nama baik, pemerasan dan/atau pengancaman, penyebaran

berita bohong dan menyesatkan sehingga mengakibatkan kerugian pengguna. Selain itu, konten negatif juga diartikan sebagai substansi yang mengarah pada penyebaran kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan. Konten negatif muncul karena motivasi-motivasi pembuatnya yang memiliki kepentingan ekonomi (mencari uang), politik (menjatuhkan kelompok politik tertentu), mencari kambing hitam, dan memecah belah masyarakat (berkaitan suku agama ras dan antargolongan/SARA).


Salah satu konten negatif yang mendapat perhatian adalah hoaks. Pergerakan hoaks dipermudah oleh penggunaan media sosial yang masif oleh masyarakat. Hoaks yang beredar di masyarakat juga datang dari media massa yang semestinya bisa menjadi acuan untuk menangkal penyebaran hoaks. 


Oleh karena itu, kita harus melakukan cross check untuk menguji kebenaran suatu informasi. Langkah verifikasi akan mengurangi resiko menjadi korban dari konten negatif. Kita menguji kebenarannya dengan mencari informasi dari sumber-sumber lain yang kredibel. Sumber yang kredibel adalah yang memiliki rekam jejak yang baik, memiliki keahlian di bidangnya, dan kita ketahui tidak memiliki bias kepentingan. Kompetensi ini sebenarnya menunjukkan bahwa kita adalah pemain aktif dalam mengelola informasi. Kita tidak mau menelan mentah-mentah berbagai informasi yang kita peroleh. Upaya verifikasi ini dilakukan karena secara mendasar ada dorongan dari diri kita sendiri untuk mengkonsumsi informasi yang benar dan memberi manfaat bagi kita, bukan informasi bohong, penipuan, mengandung unsur kejahatan, atau

menjebak kita.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kesya Zahira 8E 20 - Video Menarik Tentang Algoritma

KESYA ZAHIRA 8E (20) - LATIHAN BAB 2 BTIK HAL. 126-129